Mahkamah Agung Republik Indonesia mengabulkan permohonan hak uji
materil yang diajukan Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI) atas
Pasal 2 Peraturan Presiden No. 99 Tahun 2020 Tentang Pengadaan Vaksin
dan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19.
Putusan Majelis Hakim Agung itu teregister dengan nomor perkara
31P/HUM/2022 dengan susunan Majelis Hakim Agung yakni Prof. Dr. Supandi,
SH, M.Hum (Hakim Ketua), Is Sudaryono, SH, MH, dan Dr. H. Yodi Martono,
SH, MH (Hakim anggota). Dalam putusan yang dibacakan pada hari Kamis
(14/04/2022) lalu, MA memutuskan mengabulkan secara bulat gugatan YKMI
tersebut.
Sebelumnya, YKMI melalui kuasa hukumnya dari Daar Afkar & Co. Law
Firm, yakni Amir Hasan, SH, MH dan Ahsani Taqwim Siregar, SH,
mengajukan permohonan hak uji materil atas berlakunya Pasal 2 PP No. 99
Tahun 2020. Dalam PP tersebut, disebutkan bahwa “Pemerintah menetapkan
jenis dan jumlah Vaksin Covid-19 yang diperlukan untuk pelaksanaan
Vaksinasi Covid-19”.
Dijelaskan Amir Hasan, atas berlakunya ketentuan dalam PP tersebut,
pemerintah menetapkan segala jenis vaksin yang dipergunakan di wilayah
Indonesia. “Ketentuan itu bertentangan dengan UU No. 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal, UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundangan dan PP No. 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan
Pelaksanaan UU No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal,” ujarnya.
Dalam petitumnya, YKMI sebenarnya mengajukan uji tafsir atas
berlakunya Pasal 2 Perpres tersebut. “Kami meminta tafsir resmi bahwa
ketentuan Pasal 2 Peraturan Presiden tersebut telah bertentangan dengan
ketiga UU tersebut, yang kemudian dikabulkan oleh MA,” tambah Ahsani
Siegar, SH, kuasa hukum YKMI lainnya.
Ditambahkan Amir Hasan lagi, uji tafsir yang dimohonkan tersebut
bahwa pemerintah wajib menyediakan kehalalan jenis vaksin yang
dilaksanakan untuk program vaksinasi Covid-19. “Dan itu dikabulkan
seluruhnya oleh Majelis Hakim Agung,” tandasnya. Maknanya, sambungnya
lagi, ketentuan Pasal 2 Perpres No. 99 Tahun 2020 tersebut, harus
dimaknai bahwa pemerintah wajib menyediakan vaksin halal bagi umat Islam
dalam melaksanakan program vaksinasi Covid-19.
“Itu bersifat mutlak dan wajib, setelah adanya Putusan MA tersebut,” ujar Amir.
Ditegaskan Ahsani Siregar, SH, Putusan MA ini berlaku mengikat bagi
pemerintah untuk wajib menyediakan vaksin halal, tanpa alasan apapun.
“Putusan ini merupakan jaminan hukum bagi umat Islam untuk mendapatkan
vaksin halal, ini anugerah besar di bulan Ramadhan ini,” tukasnya.
Maka, ujarnya lagi, tidak boleh lagi pemerintah memberikan vaksin
yang tidak halal kepada umat Islam. “Jika masih ada pemberian vaksin
yang tidak halal, setelah adanya putusan MA ini, maka kami akan menuntut
dan melaporkan secara pidana atas pelanggaran hukum tersebut,”
tegasnya. Karena, tambahnya lagi, Perpres No. 99 Tahun 2020 tersebut
bertentangan dengan UU Jaminan Produk Halal dan PP No. 31 Tahun 2019
Tentang Peraturan Pelaksanaan UU JPH.
“Perpres itu bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi,” terang advokat asal Nusa Tenggara Barat itu lagi.
Dampak dari munculnya Perpres tersebut, maka pemberian vaksin
dilakukan tanpa mengindahkan kehalalannya. “Ini merugikan hak-hak hukum
umat Islam, yang dijamin kebebasannya dalam menjalankan ibadah menurut
agamanya di negara Indonesia,” tambahnya lagi.
“Padahal amanat UU JPH memerintahkan bahwa setiap produk yang beredar
di wilayah Indonesia, wajib bersertifikat halal, sementara vaksin yang
didasari oleh Perpres tersebut, tidak semuanya bersertifikat halal,”
paparnya lagi.
Ahmad Himawan, Ketua Umum YKMI berkomentar, selama ini pemerintah
cenderung mengabaikan keberadaan vaksin halal bagi umat Islam. “YKMI
telah berjuang untuk vaksin halal ini, demi membela hak-hak hukum umat
Islam, karena intinya kita setuju dengan program vaksinasi dan
mendukung, tapi harus disediakan vaksin halal bagi umat Islam,”
tandasnya.
Selama ini, sambungnya, jenis vaksin yang diberikan kepada umat
Islam, ada yang mengandung tripsin babi dan bahkan ada yang tidak
memiliki sertifikat halal. “Ini jelas merugikan kaum muslimin sebagai
warga negara mayoritas di Negara Indonesia,” ujar Himawan. Oleh karena
itulah, tegasnya lagi, YKMI mendesak agar pemerintah wajib menyediakan
vaksin halal yang diperuntukkan bagi kaum muslimin.
Dalam program vaksin tahap ketiga (booster) misalnya, terang Himawan,
pemerintah c.q Dirjen P2P Kemenkes malah menerbitkan Surat Edaran yang
menentukan jenis vaksin yang sama sekali tidak halal.
“Itu bentuk turunan dari terbitnya Perpres yang kita uji materil
tersebut, kini MA telah menetapkan bahwa jenis vaksin yang dipergunakan
harus dijamin kehalalannya, artinya tidak boleh lagi vaksin yang tidak
halal diberikan kepada umat Islam,” katanya penuh semangat.
Yang jelas, Himawan lagi, Putusan MA ini merupakan aturan yang wajib
dipatuhi pemerintah untuk menyediakan vaksin halal. “Ini harus dipatuhi,
demi keharmonisasi kehidupan ketatanegaraan Indonesia dan terjaminnya
hak-hak hukum umat Islam secara menyeluruh,” tegasnya.
Sekretaris Eksekutif YKMI, Fat Haryanto Lisda menambahkan putusan MA
ini membuat pemerintah harus merumuskan ulang kebijakan mewajibkan
booster untuk keperluan mudik. Pasalnya, diantara vaksin booster yang
diumumkan pemerintah, tidak ada satupun vaksin booster yang mengantongi
sertifikasi halal.
“Dengan putusan MA ini, tidak ada lagi multi tafsir, hanya satu
tafsir : pemerintah Wajib memberikan vaksin boster yang Halal kepada
pemudik, toh Vaksin nya ready dan siap, jadi sudah tidak ada alasan
pemerintah mangkir, Tafsir Hukum dari MA sdh clear, Barang Vaksin Halal
nya Tersedia , apa lagi alasan Pemerintah ? kok masih kasih yang Haram
?,” ujarnya.
Amir Hasan mengatakan pemerintah harus segera menjalankan penuh
putusan MA yang sudah diketuk ini. Menurutnya, akan muncul banyak
konsekuensi hukum jika pemerintah mengabaikan putusan tersebut.
“Jika terjadi pengabaian atas putusan MA ini, maka kami akan
mengajukan tuntutan baik secara pidana dan perdata, dan merupakan
pelanggaran terhadap HAM, dan kami akan mengadukan juga ke Mahkamah
Internasional,” tegas Amir Hasan.